Lensapapua – Ada semangat dan upaya positif yang luar biasa Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengikuti dan mengukur dari kondisi ril di lapangan serta prinsip-prinsip dan perlindungan HAM yang telah ditetapkan. Baik dalam Konstitusi UUD 1945 pasca-amandemen, dan UU HAM serta beberapa produk peraturan lainnya yang sudah diratifikasi, ujar Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga pada acara dialog umum puncak hari kebangkitan nasional dan HUT Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ke 16, yang berlangsung di Aimas, Selasa (17/3).
Persoalan yang dialami masyarakat adat saat ini bukan hasil dari pemerintahan yang sekarang, tapi sebagian bahkan yang tersisa dari penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1928, ketika saat itu melakukan penataan batas kasawan hutan di Jawa, ujarnya.
Pada saat itu, kata Sandara, judulnya monumen alam, yang kemudian berkembang menjadi taman nasional, dan pada tahun 2003 diperluas menjadi taman nasional Halimusalam.
Apa yang terjadi saat itu hanya satu contoh, dimana persoalan yang terjadi di negeri ini. “Yang perlu saya tekankan dari hasil inkliri nasional dimana sampai tahun 2014 indikasi pelanggaran HAM masih terjadi,” bebernya.
Ada indikasi pelanggaran HAM yang dinilainya cukup luas, yakni dari hak ekonomi, sosial, budaya, hak sipil, dan politik, dimana ada cukup banyak anggota suka adat yang kehilangan hak hidup, dan ada cukup banyak hak anggota suku adat yang dianiaya maupun kehilangan pekerjaan, tapi hampir seluruh masyarakat yang hadir dirasakan tidak menikmati hak rasa aman.
Selain itu, “tidak diperlakukan sama di muka hukum, dan saya menyampaikan hal ini bukan menyalahkan siapa-siapa, tetapi ingin mengingatkan bahwa upaya penyelesaian yang ingin dijalankan oleh para menteri, serta seluruh jajaran pemerintah, kami ingin memastikan bahwa upaya tersebut berdasarkan prinsip penghormatan dan perlindungan hak azasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi kita,”imbaunya.
Kalau dari perspektif HAM, masyarakat adat memiliki satu hak yang khas, yaitu ikut dalam proses menentukan identifikasi dirinya. Dan PerMendagri yang sebelum Tjahjo Kumolo itu hampir semua didominasi oleh institusi negara, dimana di sini partisipasi masyarakat masih sangat-sangat minim.
Jadi, saya mengusulkan Per Mendagri itu direvisi agar lebih progresif. Selanjutnya, terkait dengan masalah pertanahan dimana saat ini Menteri LH dan Kehutanan melakukan suatu inisiatif yang luar biasa, tapi upaya tersebut belum tentu membuahkan hasil, apabila kementerian yang lain, seperti kementerian terkait lainnya tidak melakukan hal yang sama.
Dan apabila semua itu dilakukan secara sektoral, saya tidak bisa membayangkan betapa rumitnya masyarakat-masyarakat adat untuk memperjuangkan berbagai hak mereka.
Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri hadir mewakili presiden, Komnas HAM sejak tahun 2004 merekomendasikan agar dibentuk satu badan khusus untuk menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam.
Badan khusus tersebut, juga dalam Tap MPR tidak disebutkan staf khusus, tapi presiden dan DPR untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi sejak masa lampau.
Ada konsep transitional justic dalam masa transisi menuju demokrasi seutuhnya atau demokrasi yang ideal, kita perlu mengadopsi konsep-konsep. Jadi perlu ada Badan Ad-Hoc yang perlu menyelesaikan berbagai konflik pertanahan yang terjadi sejak zaman kolonial agar ke depan nanti kita bisa menjalankan negeri ini dengan rasa tenang yang tidak ada konflik-konflik. Sehingga bisa melaksanakan arah dan kebijakan pembangunan sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Harapan kami juga berbagai konflik horizontal bisa diatasi, harapnya. (rim/Red)