MANOKWARI, lensapapua — Kuasa Hukum dan Penasihat Hukum Ferdy alias Mas Bro menyatakan, bahwa terkait putusan hakim tunggal Faisal. M. Kossah, SH dalam perkara praperadilan atas Ferdy alias Mas Bro dianggap “Sesat”.
” Sebagai Advokat dan Pengacara sekaligus Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan Ferdy alias Mas Bro, saya ingin memberi pernyataan bahwa putusan hakim tunggal Praperadilan Faisal M.Kossah, SH pada Senin, 14/8 dalam perkara klien saya tersebut telah jelas-jelas melanggar amanat Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP,”Ujar Yan. Ch. Warinussy melalui siaran persnya, senin (21/8/17).
Hal itu dikarenakan sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dalam amar putusannya telah merubah isi pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut : …”Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.
Sehingga menurut Yan menjelaskan, bahwa sebenarnya masih ada waktu cukup selama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan praperadilan tersebut digugurkan oleh Hakim Faisal pada Senin, 15/8 dan saat pokok perkara atas nama klien saya Ferdy alias Mas Bro akan mulai diperiksa Senin, 21/8 di sidang Pengadilan Negeri Manokwari.
” Seharusnya hakim Faisal dapat memberi putusan yang lebih dapat memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana harapan seorang warga negara sipil Indonesia seperti halnya klien saya tersebut,”Jelasnya
Mengutip, Pelajaran berharga dari amanat pasal 82 ayat (10 huruf d UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut seharusnya dipahami oleh tidak saja hakim, tapi juga rekan-rekan seprofesi advokat serta masyarakat awam hukum di Tanah Papua dan Manokwari. Yaitu bahwa sebuah permohonan praperadilan tidak bisa dinyatakan gugur oleh putusan hakim sebelum pokok perkara disidangkan pertama kali sewaktu Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat dakwaan di depan sidang pengadilan terhadap terdakwa/pemohon praperadilan.
Sebagaimana terjadi dalam permohonan praperadilan klien saya, setelah permohonan kami didaftarkan dan mulai disidangkan di sidang praperadilan Pengadilan Negeri Manokwari, maka pihak Kapolres Manokwari melalui jajaran Reserse Kriminal (Reskrim) dengan cepat dan terkesan “bekerjasama” dengan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) Manokwari.
Dimana hanya dalam sehari (Jum’at, 11/8) Polres Manokwari melimpahkan berkas perkara plus tersangka atas nama Ferdy alias Mas Bro (tahap 2) ke Kejari Manokwari dan dalam beberapa jam saja pada hari itu juga Jaksa Penuntut Umum pada Kejari Manokwari tersebut melimpahkan berkas perkara klien saya ke Pengadilan Negeri Manokwari.
Ini disebabkan karena baik polisi, jaksa dan juga hakim di Pengadilan Negeri Manokwari tidak mengetahui adanya perkembangan hukum, khususnya menyangkut amanat Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No.8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang sudah maju dan tidak mengandung pengertian berkas perkara pokok jika sudah dilimpahkan ke pengadilan maka permohonan praperadilan menjadi gugur.
Sebenanya proses limpah-melimpahkan berkas dan tersangka/terdakwa dari penyidik kepada penuntut umum dan ke pengadilan negeri, setelah adanya Putusan MKRI No.102/PUU-XIII/2017 tanggal 9 November 2016 tersebut menjadi jelas sebagai proses administrasi perkara belaka yang seharusnya tidak serta merta dapat mempengaruhi dan atau menggugurkan sebuah proses hukum acara pidana di depan sidang praperadilan pada pengadilan negeri.
Kiranya dapat dibaca secara baik dan seksama di dalam Putusan MK No.102/PUU-XIII/2017 tanggal 9 November 2016 tersebut yang bisa diperoleh melalui situs resmi MKRI : www.mahkamahkonstitusi.go.id .
Hal ini urgen agar para hakim tidak membuat putusan bersifat klasik dan sepihak yang mengakibatkan lahirnya “peradilan sesat” di bumi Indonesia termasuk diatas Tanah Papua tercinta ini.
” Berdasarkan hal tersebut kami dan klien kami tentu sedang mempertimbangkan guna mengambil langkah hukum yang penting terhadap putusan dan hakim yang membuat “putusan sesat” tersebut,”Tukasnya. (ian)