M. Tangkepayung, Konvergensi Media Dalam Kelangkaan Sumberdaya

banner 120x600
banner 468x60

Lensapapua, Kemajemukan media massa semakin kental terasa ketika dunia diperhadapkan dengan percepatan perubahan teknologi digital. Sekilas kiyak menilik kembali pada ’90-an di mana operasi sistem Symbian masih merajai pasaran kala itu. Semua media sosial dikendalikan oleh satu predator gawai.

Memasuki era 2000 an, seperti menjadi titik balik sistem operasi Android yang secara perlahan namun pasti mematikan pendahulunya hingga kini. Perjalanan teknologi nyaris sama dengan perkembangan media massa di tanah air meski mengalami sedikit keterlambatan di wilayah yang jauh dari ibu kota.
Di tanah Papua, adalah Meirto Tangkepayung yang menyaksikan keunggulan media konvensional cetak (baca: koran, red) dipaksa berevolusi menjadi media massa yang mudah di dapat di mana saja, kapan saja. Media Siber. Di mana media jenis ini dapat mencaplok tugas saudara-saudaranya sesama media yang terlebih dulu ada.
Sarjana Kehutanan Universitas Papua tahun 2004 itu memulai kiprahnya di dunia jurnalistik tepat usai diwisuda. “Kebetulan, waktu kakak saya mempunyai stasiun radio, dan saya diminta untuk membantunya di sana. Itu awal saya mengenal dunia jurnalistik”. Kisahnya.

banner 325x300


Waktu berlalu, musim berganti. Berbagai jabatan dalam bermedia dijalaninya hanya untuk mencari sesuatu yang dianggapnya penting. Pengalaman. “Koran pernah, radio pernah, televisi pernah, media online sampe sekarang. Saya bangun sendiri, saya kelola sendiri” ujarnya.

Menurut Tangkepayung, perjalanan media massa di Tanah Papua mengalami pergeseran segmentasi, dari yang konvensional menjadi media multi fungsi.
Ia mengungkapkan, kendala media Siber di daerah adalah masalah keterbatasan sumber daya. Sumber daya utama yang sangat dibutuhkan oleh media Siber di Papua adalah infrastruktur komunikasi dan internet serta tenaga listrik yang masih belum stabil.

Ketua IJTI Pengda Papua itu menyebutkan, usulan kerja sama dengan pemerintah daerah tentang penyediaan sumber daya tersebut. “Tapi hal itu sangat riskan dilakukan. Akan sangat mempengaruhi ruh jurnalisme daerah jika itu terjadi. Sedangkan jurnalis dituntut untuk tetap independen dan berimbang. Khawatir hal itu akan mengikis fungsi kontrol sosial dari media” ucapnya.

Tantangan lain yang dihadapi adalah, konvergensi media massa yang saat ini menjadi acuan ‘lifestyle’ raksasa media yang sudah ada di tanah air. “Perbedaannya dengan di daerah, justru kita baru akan memulai membangun media Siber di sini. Tetapi mereka dengan segala kemudahan dan kecukupan sumber daya sudah membangun jaringan media, bahkan sudah ada yang menggurita. Apa boleh buat, ya kita maju saja. Kita kerja saja dengan apa yang ada. Apa yang kita punya” keluhnya.


Kendati demikian, suami dari Marlien Aer itu masih menyimpan optimisme yang begitu besar terhadap perkembangan media massa di Tanah kelahirannya, Papua. “Saya akan punya media yang besar dengan bekerja keras, media saya akan menghidupi puluhan mungkin ratusan kepala wartawan loyal, wartawan saya akan menyampaikan kebenaran kepada dunia, apapun taruhannya” ia menutup pembicaraan dengan sorot mata menatap masa depan. Red

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.